As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

27 February 2015

VOC dan Indische Kerk: Dua sisi pada koin ironi



[1.]

Pada bulan Februari 1605 armada kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie, kongsi perdagangan Belanda) yang dipimpin Steven van der Hagen mengalahkan armada kapal perang Portugis yang dipimpin Gaspar de Mello melalui sebuah pertempuran yang sengit. Kemenangan ini menyebabkan benteng pertahanan Portugis di Ambon, Fort Victoria,  jatuh ke tangan Belanda. Bahkan bukan hanya Ambon, tetapi seluruh wilayah jajahan Portugis di wilayah yang mereka sebut Timur Jauh.

Pada hari Selasa, 27 Februari 1605 di benteng Victoria dilaksanakan ibadah. Ini adalah ibadah Protestan yang pertama diadakan di wilayah Hindia Belanda. 

Untuk memberikan perhatian yang lebih baik dalam pengembangan jemaat-jemaat di beberapa tempat VOC mendirikan De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (sering disingkat Indische Kerk), yang selanjutnya, dikenal sebagai Gereja Protestan di Indonesia (GPI).

Hingga saat ini tanggal 27 Februari diperingati sebagai hari lahir GPI.

[2.]

Kehadiran Belanda di Indonesia melalui kongsi dagangnya, VOC, lebih diarahkan pada perhitungan dagang. Indonesia kaya dengan rempah-rempah yang dibutuhkan di Eropa. Harganya menjadi mahal ketika dipasarkan di Eropa. Alasan ini juga yang dipakai Portugis ketika Vasco de Gama berlayar melewati Malaka hingga ke teluk Ambon. Penyebaran agama bukan alasan utama.

Namun VOC tidak bisa tinggal diam dengan kebutuhan ibadah anggota atau pekerja mereka. Pelaksanaan ibadah mulai diatur. Indische Kerk diberi tanggung jawab yang besar. Malah jemaat-jemaat yang ditinggalkan misionaris Portugis pun turut diberi perhatian, sekalipun bukan pekerja VOC.

[3.]

Pada hari ini saya memang ingin memberikan perhatian pada kisah ironis di atas. Bagi saya, benar-benar ironis. Di pihak yang satu adalah mencari kejayaan dengan merampas kekayaan lokal, di pihak lain dijumpai semangat memberikan pelayanan. Keduanya adalah dua sisi yang saling membelakangi dalam sekeping koin. Itu adalah ironinya VOC.

Ironi yang lain adalah ibadah pada hari Selasa 27 Februari 1605 itu. Itu adalah ibadah syukur. Apakah penggenapan ambisi yang lahir dari ketidakpuasan perlu disyukuri? Saya tidak tertarik untuk menjawabnya. Kita tahu bagaimana seharusnya.

Yang saya lihat sekarang, adalah bagaimana protestantisme yang lahir dan berakar dari sikap kritis itu akan selalu bersikap kritis pada isu-isu atau persoalan-persoalan sosial di sekitar kehadirannya. Saya rasa mungkin pejabat-pejabat VOC itu sudah sering merah telinganya menghadapi sikap demikian dari gereja yang turut dibentuknya, khususnya dari para pejabat gereja yang tidak sejalan dengan pemahaman para petinggi VOC. Atau jangan-jangan para pejabat gereja itu adalah para pegawai VOC yang akhirnya kehilangan sikap kritisnya; suara kenabiannya.

Semoga Gereja Protestan di Indonesia, melalui seluruh gereja-gereja mandirinya, tetap senantiasa hadir menjadi terang dan garam bagi lingkup kehadirannya. Sebelum lewat tanggalnya saya mengucapkan, "Selamat ulang tahun GPI."

[4.]

Gambar di atas adalah cara saya merayakannya. Maaf, ada jalur hitam yang melintas di bawah. Itu karena salah menulis nama Belandanya GPI. Ah, 'nggak; itu karena kumpeni ...

No comments: