TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya,
di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya;
Ia menaikkan kabut dari ujung bumi,
Ia membuat kilat mengikuti hujan,
Ia mengeluarkan angin dari dalam perbendaharaan-Nya.
(Mazmur 135:6-7)
Ini sudah hari ketiga. Selama tiga hari hujan turun.
Pada hari yang pertama hujan turun di siang hari, lalu di sore hari. Cukup lama.
Besoknya, hujan datang lagi bersama awan mendung. Mulanya hanya rintik. Cukup lama. Tapi berubah menjadi deras. Cukup untuk mematikan langkah orang yang hendak ke pesta sukacita. Matahari benar-benar tidak memiliki daya apa pun untuk menghujamkan cahaya panasnya. Mungkin rintik hujan yang merinai itu adalah keringatnya yang mengucur; setelah Matahari berupaya sekuat tenaga menghalau awan mendung yang menutupi area yang sangat luas.
Sekarang hujan masih tetap turun. Di sepanjang hari. Tidak ada satu pun kesempatan bagi matahari menunjukkan cahayanya. Sama sekali tidak ada. Awan mendung, awan mendung, awan mendung, lagi-lagi awan mendung.
Awan mendung yang berwarna kelabu itu mengingatkan saya pada asap hitam yang membubung ke langit. Keluar dari jilatan api yang membakar kayu-kayu kering di hutan semak belukar. Naik tinggi ke langit untuk merampas Biru di langit.
Apakah Matahari sedang mengalah dalam kerendahan hati pada Mendung? Apakah kerinduan Mendung pada puja dan serapah anak manusia yang meluluhkan kebesaran dan keagungan Matahari?
Saya tidak tahu. Telinga saya sedang menikmati ‘Prelude To A Kiss’-nya Duke Ellington. Biarkan awan mendung itu menyapu langit biru. Biarkan saja. Toh, aroma yang dibawa rinai hujan di sore hari ini dan alunan cool jazz bukan sesuatu yang harus disikapi dengan serapah, kan ?
Hmm ... cappuccino itu sudah datang!
Saya ingin menikmati dulu Mendung dan Rinai Hujan ini bersama beberapa teguk cappuccino. Sebelum kegelapan yang sesungguhnya datang membungkus hari bersama kabut yang menjalarkan dingin.
Slurrp …!
No comments:
Post a Comment