As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

26 November 2013

Pahami sebelum menyampaikan ...


“Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.” (Habakuk 2:1)

[1.]

Sebagai seorang nabi Habakuk bertugas menyampaikan firman Tuhan kepada umat-Nya.  Saya, dan mungkin juga banyak orang yang lain, berpikir, bahwa penyampaian firman tersebut dilakukan tanpa banyak tanya lagi. Tuhan telah berfirman, maka nabi harus menyampaikan tanpa tawar menawar lagi.

Ketika membaca Habakuk, saya mendapat kesan, bahwa Habakuk merasa keberatan menyampaikan firman Tuhan yang telah diterimanya. Dia seperti ‘menggugat’ keputusan Tuhan, mengapa Tuhan memakai bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan sebagai alat untuk menghukum dan menghancurkan umat-Nya. Habakuk tidak bisa memahami keputusan Tuhan yang rasanya aneh dan tidak berpihak pada umat-Nya sendiri.

“Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?” (Habakuk 1:13)

Bagi saya, tindakan Habakuk tersebut mengingatkan peran gereja untuk menyampaikan suara kenabiannya dengan kritis. Tidak saja firman Tuhan itu disampaikan kepada umat (dunia), namun juga dipahami dengan baik kehendak Tuhan itu sendiri.

Di pasal terakhir, kita berjumpa dengan pernyataan Habakuk yang paradoks. Pernyataan itu lahir dari pengharapan yang kuat, bahwa sekalipun keadaan yang dialami adalah penderitaan, namun iman pada kasih Tuhan membawa pengharapan pada penyelamatan yang membuat Habakuk akan bersukacita.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Habakuk 3:17-18)

[2.]

Gambar tersebut dikembangkan dari Habakuk 2:1-5 yang menjadi bahan khotbah dalam Ibadah Minggu di jemaat-jemaat GPIB.

Pada satu titik tertentu sikap kritis akan berubah menjadi arogan. Sikap arogan ditunjukkan oleh para pemrakarsa menara Babel. Melalui pembangunan menara mereka mencoba menyamai Tuhan. Namun, saya tidak melihat sikap arogan Habakuk, ketika dia berdiri di atas menara. Saya melihat sisi ‘kebingungan’ Habakuk yang mencoba memahami kehendak Tuhan.

Menara, bagi saya, menjadi simbol keinginan Habakuk yang sangat kuat untuk memahami kehendak Tuhan. Menara menjadi sarana untuk lebih dekat pada kehendak Tuhan.

Non mortui laudabunt Dominum.

No comments: