“Aku mau berdiri di
tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan
menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan
dijawab-Nya atas pengaduanku.” (Habakuk 2:1)
[1.]
Sebagai seorang nabi Habakuk bertugas menyampaikan firman Tuhan kepada umat-Nya. Saya, dan mungkin juga banyak orang yang lain, berpikir, bahwa penyampaian firman tersebut dilakukan tanpa banyak tanya lagi. Tuhan telah berfirman, maka nabi harus menyampaikan tanpa tawar menawar lagi.
Sebagai seorang nabi Habakuk bertugas menyampaikan firman Tuhan kepada umat-Nya. Saya, dan mungkin juga banyak orang yang lain, berpikir, bahwa penyampaian firman tersebut dilakukan tanpa banyak tanya lagi. Tuhan telah berfirman, maka nabi harus menyampaikan tanpa tawar menawar lagi.
Ketika membaca Habakuk,
saya mendapat kesan, bahwa Habakuk merasa keberatan menyampaikan firman Tuhan
yang telah diterimanya. Dia seperti ‘menggugat’ keputusan Tuhan, mengapa Tuhan
memakai bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan sebagai alat untuk menghukum dan
menghancurkan umat-Nya. Habakuk tidak bisa memahami keputusan Tuhan yang
rasanya aneh dan tidak berpihak pada umat-Nya sendiri.
“Mengapa Engkau
memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri,
apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia?” (Habakuk 1:13)
Bagi saya, tindakan
Habakuk tersebut mengingatkan peran gereja untuk menyampaikan suara kenabiannya
dengan kritis. Tidak saja firman Tuhan itu disampaikan kepada umat (dunia),
namun juga dipahami dengan baik kehendak Tuhan itu sendiri.
Di pasal terakhir, kita
berjumpa dengan pernyataan Habakuk yang paradoks. Pernyataan itu lahir dari
pengharapan yang kuat, bahwa sekalipun keadaan yang dialami adalah penderitaan,
namun iman pada kasih Tuhan membawa pengharapan pada penyelamatan yang membuat
Habakuk akan bersukacita.
“Sekalipun pohon ara
tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan,
sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba
terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan
bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.”
(Habakuk 3:17-18)
[2.]
Gambar tersebut
dikembangkan dari Habakuk 2:1-5 yang menjadi bahan khotbah dalam Ibadah Minggu
di jemaat-jemaat GPIB.
Pada satu titik tertentu
sikap kritis akan berubah menjadi arogan. Sikap arogan ditunjukkan oleh para pemrakarsa menara Babel. Melalui pembangunan menara mereka mencoba menyamai Tuhan. Namun, saya tidak melihat
sikap arogan Habakuk, ketika dia berdiri di atas menara. Saya melihat sisi ‘kebingungan’ Habakuk yang mencoba
memahami kehendak Tuhan.
Menara, bagi saya,
menjadi simbol keinginan Habakuk yang sangat kuat untuk memahami kehendak
Tuhan. Menara menjadi sarana untuk lebih dekat pada kehendak Tuhan.