As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

22 February 2014

Keteguhan di hadapan hati yang hancur ...



"Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku." (Rut 1:16)

[1.]

Menurut Naomi, hidupnya sudah hancur. Dia tidak memiliki apa pun untuk meneruskan kehormatan keluarganya dan kehormatan nama suaminya, Elimelekh.

Ketika Naomi dan Elimelekh pindah dari Betlehem ke Moab bersama kedua anak mereka, Mahlon dan Kilyon, mereka berharap kehidupan yang lebih baik lagi. 'Rumah roti', tempat asal Naomi dan suaminya, tidak bisa diharapkan lagi, karena bencana kelaparan yang melanda seluruh Israel.

Nampaknya, menurut Naomi, tindakan mereka ini tidak dalam perkenanan Tuhan. Di tempat yang menjadi harapan mereka, Naomi menerima keadaan yang jauh lebih buruk, suaminya meninggal. Belum cukup dengan peristiwa ini, kedua anak lelakinya pun meninggal sebelum memiliki keturunan. 

Dalam tradisi pada saat itu, kehadiran lelaki dipandang sebagai penerus keturunan. Sehingga kehormatan dari keluarga masih berlanjut terus dan tetap dapat dipertahankan selama ada anak lelaki yang dapat meneruskan kehormatan mereka. Ini lazim dalam budaya patriarkat.

Bagi Naomi perpindahan itu menjadi hukuman Tuhan; "TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku (Rut 1:21)." Keputusan untuk pindah ke Moab dapat diartikan sebagai tindakan tidak lagi menaruh pengharapan pada Tuhan yang telah memberikan negeri Kanaan kepada nenek moyangnya.

Naomi tidak sendiri. Kedua menantunya, Rut dan Orpa, benar-benar menunjukkan bakti mereka kepada Naomi. Mereka tidak ingin berpisah dari Naomi. Sehingga ketika Naomi memutuskan kembali ke Betlehem, Rut dan Orpa memutuskan untuk ikut.

Menurut Naomi, tidak ada apa pun yang dapat meneruskan kehormatan keluarganya. Dia tidak dapat berharap pada Rut dan Orpa. Dalam pandangan Naomi, dari pada Rut dan Orpa hanya menjadi sengsara, lebih baik mereka kembali kepada bangsa mereka, keluarga mereka.

Orpa, dengan berat hati, menerima saran Naomi. Saya tidak menyalahkan keputusan Orpa untuk meninggalkan Naomi. Ini adalah pilihan yang baik. Namun tidak demikian dengan Rut.

Di hadapan Naomi, Rut mengucapkan kata-kata itu; "Allahmulah Allahku."

Saya langsung membayangkan Naomi menjadi repot sendiri, geleng-geleng kepala dan menepuk dahinya; "Kasihan menantuku ini."

[2.]

Berdasarkan pemahaman di atas saya menyusun gambaran itu. Ada karakter Rut yang penuh percaya diri mengucapkan kata-kata itu. Ada karakter Naomi yang jadi bingung dengan keputusan Rut. Ada pula ada karakter Orpa yang merasa berat meninggalkan Naomi; bahkan pergi meninggalkan Naomi sambil menangis.

Perjalanan ke Betlehem bagi Rut dan Orpa mungkin merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Mereka akan memasuki dunia yang berbeda, yang tidak mereka kenal sebelumnya. Bagi Naomi, perjalanan ke Betlehem berarti upaya menyiapkan diri berhadapan dengan pandangan masyarakat yang tidak mustahil akan menertawakan kegagalannya. Dalam perspektif ketiganya perjalanan ke Betlehem seperti mendaki dan melewati rintangan. Saya menggambarkan tantangan itu dengan jalan batu yang berliku, menanjak dan berjurang. 

Ini merupakan perjalanan iman bagi setiap orang percaya. Naomi belum melihat itu. Dia baru melihat dari sudut pandang hatinya yang hancur. Rut sebaliknya; keyakinan yang kuat, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa dia pun bertanya tentang masa depannya.

non mortui laudabunt Dominum

No comments: