"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya." (Lukas 4:24)
[1.]
Pada hari Sabat Yesus mengunjungi sinagoge di Nazaret. Yesus mendapat kesempatan untuk membaca dan memberikan pengajaran sehubungan dengan nas yang dibaca-Nya.
Namun saya menjumpai nada seperti kekecewaan dan sulit menerima dari orang-orang Nazaret yang berujung pada tindakan penolakan yang fatal; menggiring Yesus ke tebing dan hendak melemparkan Dia.
Penolakan terhadap Yesus di Nazaret berkaitan dengan pengenalan orang Nazaret terhadap Yesus. Bagi mereka, Yesus adalah anaknya Yusuf, yang dikenal sebagai tukang kayu (Lukas 4:22, bdk. Matius 13:55 dan Markus 6:3). Jadi sekalipun kata-kata yang disampaikan Yesus indah, latar belakang Yesus lebih dipikirkan oleh mereka, sehingga mereka tetap menolak-Nya. Mereka tidak bisa menerima, kenapa anak tukang kayu mengajar mereka? Di sini kita memahami keheranan mereka.
Keheranan dan penolakan itu disikapi Yesus dengan 'keengganan'-Nya melakukan mujizat di Nazaret. Yesus memakai tindakan Elia dan Elisa yang menolong orang asing ketimbang orang-orang sebangsanya sendiri. Sikap ini justru membuat orang-orang Nazaret merasa ditempatkan sebagai posisi orang-orang yang degil.
Kesadaran yang seharusnya membawa perubahan yang lebih baik itu justru diikuti dengan kemarahan dan kecenderungan tindakan kekerasan (lih. Lukas 4:29).
[2.]
Saya menggambarkan orang yang marah itu sebagai orang yang rajin beribadah, mengetahui Firman Tuhan. Dalam tradisi orang Yahudi, ketika seorang dianggap dewasa iman, mereka akan mengenakan talit (kain syal penutup kepala yang dikenakan selama berdoa) dan tefilin (kotak berisi gulungan tulisan ayat yang dikenakan di kepala dan tangan). Gambaran tersebut saya kembangkan, karena tempat peristiwa penolakan itu, rumah ibadat (sinagoge, Lukas 4:16).
Warga gereja sering kali bersikap seperti orang-orang Nazaret itu. Tahu firman Tuhan, bahkan paham. Namun ketika bagian dari firman itu dianggap menyakiti, maka muncul sikap penolakan.
Penolakan terhadap Yesus bukan saja berarti menolak kehadiran Yesus sebagai Juruselamat. Ketika kita menutup telinga dan hati kita dari kehendak Tuhan, apa pun yang diinginkan-Nya untuk kita lakukan, maka itu pun sudah merupakan penolakan.
Kadang-kadang, sekali pun kita menganggap diri kita taat, kita bisa saja memilih untuk menolak perintah Tuhan, kan?
Kadang-kadang, sekali pun kita menganggap diri kita taat, kita bisa saja memilih untuk menolak perintah Tuhan, kan?
non mortui laudabunt Dominum
1 comment:
Hi lef....senang bisa melihat goresanmu dan tutur ceritamu
Salam Hangat
Marko Mahin, Palangkaraya-Kalimantan Tengah
Post a Comment