As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

31 July 2010

... sekeping pikiran dari koridor kehidupan ...

Aku menyusuri koridor itu. Entah, sampai di mana ujungnya. Aku telah menentukan pilihan dan menjalaninya sejak sebuah hembusan napas menyusup manis ke dalam kedua lubang hidungku.

Sebenarnya, itu bukan pilihanku yang sesungguhnya. Aku telah dipaksa memilihnya tanpa pertimbangan. Langkahku setelah napas dihembuskan adalah pilihanku yang sesungguhnya. Jika memang aku tidak suka, tentu aku akan berdiam. Namun aku memilih menggerakkan kaki dan melangkah menyusuri koridor kehidupan.
Aku ingin melihat, ... sampai di mana penyusuranku ...

30 July 2010

... detak waktu melangkah maju ...


...
Detak waktu melangkah maju,
meninggalkan rangkaian peristiwa
yang akan memudar
menjadi kepingan-kepingan waktu.
...
Detak waktu melangkah maju,
membawa kita 
pada rangkaian peristiwa
di masa datang.
...
Anda tidak tahu,
apa yang akan dihadapi,
sekali pun 
di antaranya adalah pilihan kita.
...

28 July 2010

... duduk menikmati tarian Malam bersama Maha Cinta ...

Pukul 02.16. Masih seperti kemarin. Ketika seharusnya sinar Rembulan menerangi di kegelapan awan malam, awan kelabu Mendung justru datang menghampiri. Bukan suatu gumpalan yang besar. Hanya bulatan-bulatan kecil. Dalam jumlah yang banyak. Berarak dibawa oleh buaian Angin Malam. Bergerak menuju ke utara. Mungkin mereka ingin menuju  Bintang Utara yang mencoba terus berkerlip di tengah kebekuan rasa Malam.

Dari dedaunan pepohonan terdengar suara. Merintik. Tetes-tetes air jatuh dari Langit Malam. Tetes Gerimis. Apakah Gerimis digerakkan oleh Sang Maha Cinta yang dikuasai kerinduan yang teramat sangat untuk menjumpai jiwa-jiwa terkasih yang keluar dari Ibu Pertiwi? Ataukah Gerimis keluar dari kelopak Sang Maha Cinta yang entah sedang meratapi apa. Suara tetes-tetes mereka yang menghantam lembaran-lembaran dedaunan dikirim oleh Angin Malam dengan suara yang meluruhkan jiwa yang kehilangan. Kiranya ada tarian bahagia menyambut dia yang berjalan digerakkan oleh Angin Malam.

Aku hanya duduk. Menatap sisa-sisa hujan di sore hari yang belum hilang ditelan oleh Tanah. Aku hanya duduk sambil memejamkan mata, membiarkan aroma hujan yang masih tersisa. Aku hanya duduk menikmati nyanyian dan tarian Malam.
Mungkin malam ini akan menjadi akhir dari kefanaanku. Aku tidak tahu, apakah aku masih dapat menjelang pagi. Biarkanlah aku menikmati Malam bersama Sang Maha Cinta.
Dari kejauhan, entah di mana, aku tidak mau memusingkannya, lagu lirih memasuki kedua telingaku.
Bila ketetapan Tuhan sudah ditetapkan, tetaplah sudah … tak ada yang bisa merubah dan takkan bisa berubah.*

[ LRJK | VII.MMX AD ]


* … dikutip dari lagu “Hadapi Dengan Senyuman” (ciptaan Ahmad Dhani) dalam album Dewa, “Laskar Cinta” (2004). Lagu ini juga yang mengiringi saya ketika mengunggah tulisan ini ... dan gerimis masih turun di luar sana ...  :)

19 July 2010

Hanya membagi mimpi di atas bantal ...

Send me the pillow that you dream on
so darling, I can dream on it too …

Lagu itu keluar dari speaker yang ada di atas meja komputer. Hank Locklin adalah penyanyinya. Jadul. Benar-benar jadul habis.

Pada malam seperti ini, bagi Dia, lagu itu akan menggerakkan otak kirinya dalam sebuah perasaaan yang mendalam. Di situ tersimpang berjuta benih imajinasinya. Dia mengingat kembali pada orang yang dikasihinya, yang dia yakini sedang tertidur lelap. Lelap selelap-lelapnya.

Tidak lama kemudian, hanya dalam sebuah kedipan mata, perasaan itu merujuk pada satu hal. Kerinduan. Di tengah kerinduannya dia ingin memeluk bantal yang sedang menggeletak membusungkan permukaannya. Memeluk dengan erat. Seerat-eratnya.

Di tempat lain, ada banyak bantal sedang tidak menjadi media untuk menyalurkan kerinduan. Mereka sedang menjadi media pelepas lelah setelah pemeluknya disibukkan berbagai aktifitas di sepanjang siang, bahkan mungkin hingga malam.
Sementara itu, bagi seorang anak lelaki manja yang sedang dalam pelarian, jangan harap dia akan menemukan bantal yang empuk bagi kepalanya untuk berbaring. Anak lelaki itu dikepung dengan kelelahan, kebingungan, kehilangan, ketakutan, entah apa lagi stow. Rasanya ketiganya itu yang lebih menonjol di setiap guratan wajah dan hembusan nafasnya.
Baru beberapa jam yang lalu dia mendapatkan ucapan berkat dari bapaknya. Sebenarnya itu bukan untuk dirinya. Seharusnya yang menerima ucapan berkat itu adalah kakak kembarnya. Sehingga dia pun harus menanggung akibatnya. Menjadi pelarian. Menghindar dari murka amarah kakaknya, yang adalah seorang pemburu yang hebat.
Ah, sudahlah. Semua sudah terjadi. Sekarang anak lelaki yang dimanja oleh ibunya itu berada di tengah kegelapan malam di tengah padang belantara. Dia ingin melepas lelah raga dan pikirannya. Bantal. Hanya sebuah bantal. Namun tidak ada. 
Ya, sudahlah … batu pun diambil menjadi bantalnya.
Dari speaker lagu itu masih mengalun. Sangat syahdu di tengah malam yang dingin.

Each night while I’m sleeping on so lonely
I’ll share your love in dreams that once were true …
Bagi anak itu, Sang Pelarian, mimpinya akan indah sekali. Para malaikat akan turun dari sorga. Berjalan di atas tangga sorgawi yang ujung satunya menjejak di bumi. Tempat di mana anak itu berbaring. Selanjutnya, sebuah janji ilahi disampaikan.
Bagi Dia, mimpi diinginkannya malam ini hanyalah harapan-harapan dalam kehidupannya. Harapan yang lebih baik lagi dari kenyataan hidup sekarang. Walaupun Dia tahu, bahwa Dia tidak bisa mengaturnya demikian. Entahlah, mungkin Mimpi memiliki kehendak sendiri.

Tapi bukan itu yang ingin dipusingkannya malam ini. Cukup telinganya saja. Menikmati lagu itu.

Send me the pillow …

“Sesungguhnya 
Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, 
ke mana pun engkau pergi, … 
sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, ..." 
(Kejadian 28:15)

18 July 2010

Interlude di sebuah senja ...


TUHAN melakukan apa yang dikehendaki-Nya,
di langit dan di bumi, di laut dan di segenap samudera raya;
Ia menaikkan kabut dari ujung bumi,
Ia membuat kilat mengikuti hujan,
Ia mengeluarkan angin dari dalam perbendaharaan-Nya.
(Mazmur 135:6-7)

Ini sudah hari ketiga. Selama tiga hari hujan turun.

Pada hari yang pertama hujan turun di siang hari, lalu di sore hari. Cukup lama.

Besoknya, hujan datang lagi bersama awan mendung. Mulanya hanya rintik. Cukup lama. Tapi berubah menjadi deras. Cukup untuk mematikan langkah orang yang hendak ke pesta sukacita. Matahari benar-benar tidak memiliki daya apa pun untuk menghujamkan cahaya panasnya. Mungkin rintik hujan yang merinai itu adalah keringatnya yang mengucur; setelah Matahari berupaya sekuat tenaga menghalau awan mendung yang menutupi area yang sangat luas.

Sekarang hujan masih tetap turun. Di sepanjang hari. Tidak ada satu pun kesempatan bagi matahari menunjukkan cahayanya. Sama sekali tidak ada. Awan mendung, awan mendung, awan mendung, lagi-lagi awan mendung.

Awan mendung yang berwarna kelabu itu mengingatkan saya pada asap hitam yang membubung ke langit. Keluar dari jilatan api yang membakar kayu-kayu kering di hutan semak belukar. Naik tinggi ke langit untuk merampas Biru di langit.

Apakah Matahari sedang mengalah dalam kerendahan hati pada Mendung? Apakah kerinduan Mendung pada puja dan serapah anak manusia yang meluluhkan kebesaran dan keagungan Matahari?

Saya tidak tahu. Telinga saya sedang menikmati ‘Prelude To A Kiss’-nya Duke Ellington. Biarkan awan mendung itu menyapu langit biru. Biarkan saja. Toh, aroma yang dibawa rinai hujan di sore hari ini dan alunan cool jazz bukan sesuatu yang harus disikapi dengan serapah, kan?

Hmm ... cappuccino itu sudah datang!

Saya ingin menikmati dulu Mendung dan Rinai Hujan ini bersama beberapa teguk cappuccino. Sebelum kegelapan yang sesungguhnya datang membungkus hari bersama kabut yang menjalarkan dingin.

Slurrp …!