As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

25 February 2014

Obyek yang meliuk dan sepenggal catatan tentang kebebasan ...



[1.]

Sejak kecil saya diajar untuk menggambar dengan memperhatikan proporsi yang benar. Guru-guru menggambar di bangku SD dan SMP sangat menekankan itu; sehingga saya akan menggambar dengan memperhatikan proporsi obyek yang saya gambar, baik obyek yang nyata maupun yang tidak nyata. 

Proporsi itu diperhatikan dalam menggambar orang, binatang, tumbuhan atau obyek apa pun juga. Ketika proporsi itu tidak sesuai, maka nilai yang diberikan turut berkurang. Tetapi ketika proporsinya mendekati benar, maka nilainya pun semakin tinggi.

Saya tidak menyalahkan pengajaran di atas. Karena cara mengajar di atas menghasilkan gambar-gambar yang sangat indah. 

Albrecht Durer dan Leonardo da Vinci adalah contoh seniman lukis yang sangat memperhatikan proporsi dalam setiap karya mereka.

Kehadiran Pablo Picasso telah 'merusak' pakem di atas. Dia tidak lagi memperhitungkan proporsi. Dia lebih suka menggambarkan obyek sesuka hatinya. Itu adalah tanda imajinasinya yang tidak terbatas. Akibatnya semakin banyak seniman yang berani menggambarkan obyek dengan sesuka hatinya. Mereka tidak lagi memperhitungkan bagus dan jelek. Batasannya sudah 'tidak ada' lagi. Yang ada hanya selera penikmat saja.

[2.]

Gambar di atas berangkat dari pemahaman saya, bahwa tidak ada lagi batasan antara bagus dan jelek. Saya bisa saja menggambarkan bangunan-bangunan itu dengan proporsi yang benar, namun saya memilih membuat bangunan-bangunan itu meliuk. Saya menikmati ketika menarik garis-garisnya. Sambil menunggu waktu pulang, saya memakai ballpoint untuk membuat gambar ini di atas selembar kertas HVS ukuran F4.

[3.]

Percayalah; keindahan hidup ini tidak bisa dibatasi dengan penilaian-penilaian yang kita miliki selama ini. Terlalu sempit bila hanya menuruti pikiran kita. Namun keterbukaan tidak bisa kebablasan juga, tetap ada batasan-batasan yang disebut norma itu. 

Norma itu digambarkan sebagai obyek yang meliuk. Tetap sebagai tembok, tangga, pintu, jendela, atau apapun. 

Senakal-nakalnya kita menggambar obyek itu, orang harus tetap mengetahui, obyek apa itu. Sebebas-bebasnya kita berpendapat, tetap ada batasan yang membuat pendapat itu tetap dalam aras yang tepat.

22 February 2014

Keteguhan di hadapan hati yang hancur ...



"Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku." (Rut 1:16)

[1.]

Menurut Naomi, hidupnya sudah hancur. Dia tidak memiliki apa pun untuk meneruskan kehormatan keluarganya dan kehormatan nama suaminya, Elimelekh.

Ketika Naomi dan Elimelekh pindah dari Betlehem ke Moab bersama kedua anak mereka, Mahlon dan Kilyon, mereka berharap kehidupan yang lebih baik lagi. 'Rumah roti', tempat asal Naomi dan suaminya, tidak bisa diharapkan lagi, karena bencana kelaparan yang melanda seluruh Israel.

Nampaknya, menurut Naomi, tindakan mereka ini tidak dalam perkenanan Tuhan. Di tempat yang menjadi harapan mereka, Naomi menerima keadaan yang jauh lebih buruk, suaminya meninggal. Belum cukup dengan peristiwa ini, kedua anak lelakinya pun meninggal sebelum memiliki keturunan. 

Dalam tradisi pada saat itu, kehadiran lelaki dipandang sebagai penerus keturunan. Sehingga kehormatan dari keluarga masih berlanjut terus dan tetap dapat dipertahankan selama ada anak lelaki yang dapat meneruskan kehormatan mereka. Ini lazim dalam budaya patriarkat.

Bagi Naomi perpindahan itu menjadi hukuman Tuhan; "TUHAN telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku (Rut 1:21)." Keputusan untuk pindah ke Moab dapat diartikan sebagai tindakan tidak lagi menaruh pengharapan pada Tuhan yang telah memberikan negeri Kanaan kepada nenek moyangnya.

Naomi tidak sendiri. Kedua menantunya, Rut dan Orpa, benar-benar menunjukkan bakti mereka kepada Naomi. Mereka tidak ingin berpisah dari Naomi. Sehingga ketika Naomi memutuskan kembali ke Betlehem, Rut dan Orpa memutuskan untuk ikut.

Menurut Naomi, tidak ada apa pun yang dapat meneruskan kehormatan keluarganya. Dia tidak dapat berharap pada Rut dan Orpa. Dalam pandangan Naomi, dari pada Rut dan Orpa hanya menjadi sengsara, lebih baik mereka kembali kepada bangsa mereka, keluarga mereka.

Orpa, dengan berat hati, menerima saran Naomi. Saya tidak menyalahkan keputusan Orpa untuk meninggalkan Naomi. Ini adalah pilihan yang baik. Namun tidak demikian dengan Rut.

Di hadapan Naomi, Rut mengucapkan kata-kata itu; "Allahmulah Allahku."

Saya langsung membayangkan Naomi menjadi repot sendiri, geleng-geleng kepala dan menepuk dahinya; "Kasihan menantuku ini."

[2.]

Berdasarkan pemahaman di atas saya menyusun gambaran itu. Ada karakter Rut yang penuh percaya diri mengucapkan kata-kata itu. Ada karakter Naomi yang jadi bingung dengan keputusan Rut. Ada pula ada karakter Orpa yang merasa berat meninggalkan Naomi; bahkan pergi meninggalkan Naomi sambil menangis.

Perjalanan ke Betlehem bagi Rut dan Orpa mungkin merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Mereka akan memasuki dunia yang berbeda, yang tidak mereka kenal sebelumnya. Bagi Naomi, perjalanan ke Betlehem berarti upaya menyiapkan diri berhadapan dengan pandangan masyarakat yang tidak mustahil akan menertawakan kegagalannya. Dalam perspektif ketiganya perjalanan ke Betlehem seperti mendaki dan melewati rintangan. Saya menggambarkan tantangan itu dengan jalan batu yang berliku, menanjak dan berjurang. 

Ini merupakan perjalanan iman bagi setiap orang percaya. Naomi belum melihat itu. Dia baru melihat dari sudut pandang hatinya yang hancur. Rut sebaliknya; keyakinan yang kuat, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa dia pun bertanya tentang masa depannya.

non mortui laudabunt Dominum

20 February 2014

Sukacita cuma dengan garam dalam pinggan saja ...



"Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: 'Beginilah firman TUHAN: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi.'" (II Raja-raja 2:21)

[1.]

Dahulu belum ada distribusi dan penjualan air bersih seperti yang kita nikmati sebagai minuman kemasan, penduduk kota atau desa benar-benar bergantung pada sumber air yang berada di sekitar mereka. Mereka akan mengambil air itu dan membawa ke rumah masing-masing untuk keperluan minum, makanan dan mandi mereka. Ketika sumber air itu mengering, penduduk desa akan mengalami kesengsaraan.

Bagi penduduk kota Yeriko, kesengsaraan yang mereka terima bukan karena sumber air mereka kering, melainkan akibat yang dibawa oleh sumber air itu. Dalam bahasa sekarang, air itu sudah terkontaminasi. Alkitab tidak menyebutkan, apa yang membuat sumber air mereka berubah menjadi penyebab kematian dan keguguran. Padahal terlalu berat bagi mereka untuk mengambil air dari sungai Yordan yang jaraknya mencapai 10 km lebih itu untuk keperluan sehari-hari.

Kehadiran Elisa, nabi yang dianggap penerus nabi Elia, di Yeriko memberikan harapan kepada penduduk kota. Mereka mengadukan kesusahan mereka kepada Elisa; "Cobalah lihat! Letaknya kota ini baik, seperti tuanku lihat, tetapi airnya tidak baik dan di negeri ini sering ada keguguran bayi."

Elisa langsung bertindak. Dia meminta pinggan yang baru dan garam. Melalui garam dalam pinggan tersebut, sumber air penduduk Yerikho menjadi sehat kembali. Hanya dengan garam yang dilemparkan saja.

Rasanya, garam dan pinggan baru bisa ditemui di banyak rumah. Namun tidak ada yang berpikir untuk memakai keduanya. Garam biasa dipakai untuk menyedapkan masakan. Pinggan adalah wadah. Tetapi pinggan yang diminta oleh Elisa adalah pinggan yang khusus. Elisa meminta, dalam bahasa Ibrani, tselokhith. Kata ini berasal dari kata tsalakh yang berarti beruntung. Mungkin ini adalah pinggan yang diberikan untuk menghormati tamu yang berkunjung.

Tindakan yang sederhana itu diimani sebagai tindakan Tuhan yang menginginkan damai sejahtera bagi umat-Nya. Elisa hanya alat. Garam dan pinggan hanya alat. Yang bekerja memulihkan air itu adalah Tuhan; "Beginilah firman TUHAN: Telah Kusehatkan air ini, ..."

[2.]

Pada umumnya tokoh-tokoh Alkitab digambarkan dalam sosok yang menarik. Namun saya memiliki gambaran Elisa dalam sosok yang tidak biasa; bertubuh besar dan kepala yang botak. Saya memiliki alasan untuk penggambaran itu.

Elisa diceritakan berkepala botak. Kebotakannya itu menjadi cerita tersendiri yang mungkin tidak pernah diceritakan dalam Sekolah Minggu di banyak gereja. Cerita tentang kebotakannya dapat dijumpai di 2 Raja-raja 2:23-24.

Badan Elisa yang besar itu dibuat berdasarkan 1 Raja-raja 19:19. Elisa ditemukan oleh Elia ketika sedang membajak dengan 12 pasang lembu. Kita butuh tenaga yang kuat untuk mengarahkan lembu sebanyak itu.



10 February 2014

Dibalik kengerian itu ada sukacita yang luar biasa ...


"Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" (Wahyu 21:5)

Penglihatan yang dialami oleh Yohanes di pulau Patmos sering kali membawa kengerian. Bayangan tentang kehancuran begitu kuat dan sangat mencemaskan. Saya sendiri, ketika masih anak-anak, begitu ketakutan dengan gambaran akhir zaman yang diceritakan oleh Yohanes.

Jika kita membaca Wahyu sampai dengan pasal 21 dan 22, itu berarti bertahan untuk membaca segala gambaran kengeriannya sampai dengan Wahyu 20:15, kita akan berjumpa dengan berita sukacita. Kedua pasal ini yang sering dilupakan sehingga kita hanya melihat kitab Wahyu lebih pada gambaran kengeriannya.

Wahyu 21 memberikan gambaran tentang kemuliaan sorgawi yang dikaruniakan oleh Tuhan bagi setiap orang yang bertahan dalam iman setelah melewati segala masa-masa kengerian itu. Kemuliaan sorgawi itu digambarkan sebagai langit yang baru dan bumi yang baru. Lautan yang merupakan simbol kekacauan sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya damai sejahtera. Setiap orang yang bertahan dalam iman kepada Kristus akan mendapat penggenapan janji-Nya, memasuki kemuliaan Allah. Ini benar-benar merupakan berita sukacita.

Penyingkapan yang diceritakan oleh Yohanes ini seharusnya semakin menguatkan iman dan pengharapan kita pada Tuhan Yesus. Bukan saja kita dikuatkan, tetapi sungguh-sungguh bersukacita. Sehingga ketika melewati masa kengerian dengan derai air mata dan kesakitan, kita masih memiliki iman dan pengharapan yang dengan segera mengganti air mata dan kesakitan itu dengan sukacita.

Pegang saja janji itu, langit yang baru dan bumi yang baru. Semua baru di dalam Tuhan Allah, Sumber Kehidupan.

[2.]

Saya mencoba membayangkan kemuliaan sorgawi itu, yang dilambangkan dengan Yerusalem yang baru itu. Saya memilih dengan corak kesukaan saya, hitam putih dan sepenuhnya garis (line art).

Bagi saya, yang tidak mengalami penglihatan seperti Yohanes, Yerusalem yang baru itu hanya bayangan. Namun bukan sekedar bayangan yang akan segera lenyap dimakan waktu, melainkan bayangan yang sedang menuju penggenapan. Hitam putih dan garis-garis mengingatkan saya pada proses menuju penggenapan itu.

Dalam bayangan saya, seperti kesaksian Wahyu 21, kota yang bercahaya dan mulia itu, masih tertutup sepenuhnya oleh tembok-temboknya yang tinggi. Bila tiba saatnya nanti, terpujilah Tuhan, kita akan melihat isinya itu. Jadi hanya tembok yang dominan dan dasar kota itu yang terbuat dari 12 jenis permata yang saya gambarkan.

Kubah emas yang menjadi simbol Yerusalem tetap digambarkan. Dahulu kubah lazim digunakan sebagai bagian dari struktur bangunan-bangunan gereja. Pada masa kini kubah tidak lagi dianggap sebagai bagian dari struktur bangunan gereja. Malah di Indonesia kubah lebih mengingatkan pada bangunan ibadah non kristen. Dahulu kubah dianggap sebagai simbol kemuliaan Tuhan. Di beberapa tempat bangunan gereja kuno kubah dianggap sebagai gambaran sidang ilahi yang dipimpin oleh Tuhan Allah (bdk. Mzm. 82:1). Dalam Wahyu gambaran takhta ilahi tempat Anak Domba memerintah dan segenap makhluk surgawi yang mengelilingi takhta itu begitu kuat. Takhta inilah yang menjadi arah pengharapan umat.

Pertanyaan yang sempat muncul dalam proses penggambaran, adalah apakah dengan sepenuhnya cahaya, maka tidak ada lagi bayangan? Ya, namun dalam pemahaman di atas, proses penggenapan itu, saya memilih memberi bayangan, agar kesan kemuliaan itu lebih kuat. Ini kertas putih, butuh garis dan bidang hitam yang menegaskan kemuliaan yang bercahaya itu.

[3.]

Bacaan Alkitab pada hari Minggu, 9 Februari 2014 diambil dari Wahyu 21:1-8. Dalam ibadah Minggu itu umat diajak bersyukur atas 60 tahun pekerjaan pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia yang telah menerbitkan Alkitab di Indonesia ini.

... non mortui laudabunt Dominum ...

01 February 2014

Makan atau tidak, ... pemahamannya bagaimana?


"Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu  sandungan bagi mereka yang lemah." (I Korintus 8:9)

[1.]

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh jemaat di Korintus adalah apakah makanan sesajian untuk para dewa dapat dimakan?

Bagi beberapa orang yang menyebut diri telah berpengetahuan, makanan tersebut dapat dimakan. Makanan itu tidak memiliki makna apa pun bagi mereka selain sebagai makanan saja; "kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan" (I Korintus 8:8). Namun bagi mereka yang masih lemah iman, makanan tersebut masih tetap dimaknai sebagai makanan sesajian. Mereka ini tidak bisa lepas dari tradisi atau kebiasaan. 

Masalahnya, ketika mereka yang lemah iman melihat orang yang berpengetahuan itu memakan sesajian tersebut, maka mereka seperti mendapat pengesahan untuk tetap makan tanpa harus melepaskan diri dari pemahaman yang seharusnya ditolak itu. Paulus mengistilahkannya dengan batu sandungan.

[2.]

Gagasan semula gambarnya adalah pertentangan antara makan atau tidak; antara menuruti pemahaman iman atau menuruti keinginan indrawi. Namun masalah sebenarnya dalam I Korintus 8:1-13 adalah masalah pemahaman iman yang kuat dengan kelemahan iman. Paulus melihat makanan sesajian ini memberi sandungan bagi yang lemah dan membawa kesombongan bagi yang merasa memiliki pengetahuan. 

Saya mendapat beberapa ide gambar; mulai dari gaya kartun sampai dengan model doodle. Pada akhirnya saya memilih gambar di atas yang merupakan campuran beberapa ide.

Pemuda ini gambaran dari orang-orang yang disebut Paulus berpengetahuan. Dia tidak memandang makanan di hadapannya sebagai makanan yang menjadi ritual apa pun. Dia menutup mata tentang makna yang ada di sekitar makanan itu. Dia melihat dengan mata terbuka sebagai makanan saja. 

Dia menutup mata kiri sebagai penolakan pemahaman. Ini berhubungan dengan fungsi otak kiri manusia yang berhubungan dengan logika dan penalaran. Mata kanannya yang terbuka menatap piring itu mengingatkan pada fungsi otak kanan yang mengapresiasi setiap kenikmatan.

Bagi pemuda ini pertentangan antara makan atau tidak makan sudah tidak ada lagi, karena dia telah merubah pemahamannya menurut imannya. 

[3.]

Saya menikmati proses menggambarnya. Lagu Van Halen, seperti Can't Stop Loving You dan Why Can't This Be Love membantu kenikmatannya bersama udara malam.

"You can change your mind, we can change the things we say and do anytime ..." (Van Halen; Can't Stop Loving You)