As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

14 March 2015

Tentang Sebuah Perjalanan 'Menyongsong Kematian' menjelang Minggu Laetare



"Sekarang kita pergi ke Yerusalem 
dan Anak Manusia akan diserahkan 
kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, 
dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati ..." 
(Markus 10:33)

[1.]

Minggu yang ketiga sebelum Minggu Paskah dalam tradisi gereja dinamakan Minggu Laetare. Pada tahun 2015 ini Minggu Laetare jatuh pada tanggal 15 Maret. Kata laetare merupakan kata Latin yang berarti bersukacita. Penamaan ini berdasarkan antifon yang membuka ibadah Minggu tersebut yang diambil dari Yesaya 66:10; "Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem,..." Dalam terjemahan Latin; "Laetamini cum Hierusalem ..." Selain Yesaya 66:10, gereja juga menggunakan Mazmur 122 yang memiliki tema yang serupa.

Minggu ini bagaikan masa jeda dalam masa puasa 40 hari yang dilakukan oleh umat. Ada masa untuk bersukacita sejenak di antara masa penyesalan dan pengakuan. Sukacita ini muncul karena umat diingatkan pada rahmat pengampunan dari Allah.

[2.]

Sehubungan dengan Minggu Laetare dan Yerusalem itu saya membuat gambar di atas menurut interpretasi saya.

Saya membayangkan, bahwa keputusan Yesus ke Yerusalem bukan keputusan yang mudah; bukan sebuah sukacita bagi Diri-Nya'. Dalam sisi kemanusiaan-Nya, Yesus mengalami pergumulan sendiri. 'Ketidaksiapan' yang lahir dari sisi kemanusiaan itu yang membuat-Nya mengulang-ulang pemberitahuan penderitaan-Nya kepada murid-murid. Kata-kata itu diucapkan untuk mengingatkan dan sekaligus menguatkan diri kemanusiaan Yesus sendiri.

Dalam pemahaman saya yang demikian, sulit membayangkan, bahwa Tuhan Yesus menyampaikan ajakan ke Yerusalem itu dengan riang gembira. Pasti ada guratan kesedihan di wajah-Nya yang sekaligus menunjukkan penolakan-Nya. Penolakan itu sendiri mencapai puncaknya kelak dalam peristiwa di Getsemani. Yang harus diingat adalah ini merupakan perjalanan menuju kematian yang menyakitkan.

Pergumulan batin antara meneruskan kehendak Bapa, yaitu pergi ke Yerusalem, dengan penolakan yang berangkat dari sisi manusia-Nya saya gambarkan dengan dua personifikasi; Tuhan Yesus sendiri dan Si Penghasut yang sedang menantang. Tantangan ini seperti melanjutkan bujukannya ketika mencobai Yesus di padang gurun.

Saya pun menggambarkan pemikiran tentang dualisme itu dalam arah angin yang berlawanan. Kita memang sering membiarkan diri kita diombang-ambingkan juga, kan? Namun, pada akhirnya, kita harus memutuskan sendiri. Tuhan Yesus memilih untuk pergi. 

Gambar : "An Adoration to IXP: Dying Journey to Jerusalem"