As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

25 January 2014

Berbahagia sajalah di dalam hubungan dengan Tuhan


"Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati, ...."  (Mazmur 119:2)

[1.]

Benarkah setiap orang yang memegang peringatan-peringatan Tuhan dan hidup dalam firman-Nya, hidup senang dan bahagia? Yang terjadi justru sebaliknya. Susah, menderita, malah dalam keadaan tertentu sapu tangan kita benar-benar basah oleh air mata.

Kutipan di atas, demikian juga sebagian khotbah Yesus di bukit (Matius 5:3-12), sering dipahami bahwa mengikuti perintah Tuhan pasti akan bahagia. Padahal kenyataannya ternyata tidak demikian. Tuhan Yesus sendiri harus menderita bahkan sampai mati di kayu salib karena ketaatan-Nya menggenapkan rencana keselamatan Bapa.

'Berbahagialah' merupakan seruan, perintah, bukan sebuah akibat dari sebuah kondisi. Kepada setiap orang yang berpegang pada Firman Tuhan diserukan untuk berbahagia. 

Kebahagiaan itu sebenarnya telah ada. Setiap orang tinggal mendapatkannya dengan cara mengimani. 

Ukuran yang disebut bahagia itu tidak sama dengan kesenangan yang kita nikmati di dunia. Bagi pemazmur, kebahagiaan itu terdapat dalam hubungan yang erat dengan Tuhan. Ada sukacita yang menantikan kita pada akhir kehidupan kita. 

Mengukur kebahagiaan dengan kesenangan duniawi malah membawa kita pada hedonisme. Sayangnya, banyak warga gereja yang beranggapan bahwa diberkati dan berbahagia itu kalau tidak sakit, punya uang dan pekerjaan, tidak susah, sukses. Lah, bagaimana kalau Tuhan memang menginginkan penderitaan itu tetap ada seperti yang dialami oleh pemazmur atau Ayub dari Us? Bagaimana kalau berkat yang membahagiakan itu adalah kebersamaan dengan Tuhan ketika mengalami masalah?

Karena kebahagiaan itu sudah tersedia, namun belum dirasakan pada saat ini, kenapa kita tidak mengimaninya dan merasakannya sekarang ini juga? Jadi, diserukan kepada kita semua, "berbahagialah." Jika sedang menderita, berbahagialah!

Dengan demikian seruan itu telah menjadi ajakan bagi setiap orang.

[2.]

Gambar di atas tidak bisa dipisahkan dari Mazmur 119:105; "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."

Seseorang berjalan di antara batu-batu sambil menggenggam gulungan kertas yang menyala. Ada awan tebal di sekitarnya. Saya sering menggambarkan kehadiran Tuhan dengan awan. Dalam kehadiran-Nya sosok itu dimampukan untuk melewati rintangan, yaitu batu-batu yang ada di sekitarnya. Gulungan kertas itu menggambarkan Firman Tuhan. Dia menggenggam Firman itu ketika melewati jalan berbatu itu.

Ketika membuat wajahnya saya tidak memikirkan siapa dia. Namun ketika membuat tatanan rambutnya, saya teringat karakter Tom Hanson dalam serial jadul 21 Jump Street.

Saya sempat salah menyalin kutipan ayat. Semula saya menghitamkan yang salah itu. Tapi saya merasa penghitaman itu tidak enak dilihat. Jadi saya menempel dengan potongan kertas saja.

non mortui laudabunt Dominum

22 January 2014

Kuncinya justru adalah sehati dan sepikir yang sulit itu ...



"... hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, ..." (Filipi 2:2)

[1.]

Paulus menasihatkan jemaat di Filipi agar menjaga kehidupan persekutuan mereka. Nasihat ini disampaikan karena dalam kehidupan jemaat terhadap benih-benih perpecahan.

Jika perpecahan terjadi, maka jemaat di Filipi tidak akan menampakkan kesatuan mereka. Padahal kasih persaudaraan di antara mereka diakui Paulus membawa sukacita bagi dirinya, sehingga dia mengucap syukur setiap kali mengingat jemaat Filipi (lih. 1:3-5).

[2.]

Saya sedang menunggu di gereja berhubung musibah banjir yang menimpa beberapa anggota jemaat. Selama menunggu kehadiran rekan-rekan lain saya mulai menggambar. Saya menggambar pada halaman yang terdapat sketsa pertemuan Tuhan Yesus dengan Perempuan Samaria.

Ketika menarik garis yang kelak akan menjadi dahi dan hidung saya membayangkan salah satu tokoh Alkitab. Namun ketika saya membuat bagian rambutnya, saya membayangkan Julius Caesar. Lalu saya membayangkan pria dari Vulcan dalam serial lawas Star Trek itu, Mr. Spock. Tapi dengan berat hati saya tepis, karena bentuk alis dan telinganya bukan seperti milik Mr. Spock.

Pada saat menebalkan beberapa garis saya membayangkan satu orang, Paulus, penulis beberapa surat di Perjanjian Baru. Walaupun saya merasa, bahwa mungkin rambut Paulus seharusnya lebih pendek lagi atau bahkan sama sekali tidak ada (bdk. Kisah Para Rasul 18:18).

[3.]

Bencana banjir yang terjadi sebelum gambar ini dibuat mendorong saya untuk memuat kutipan ayat di bagian bawah gambar ini. Ayat ini mengingatkan pada nilai kebersamaan yang sangat penting dimiliki dan dijaga oleh warga gereja di tengah-tengah segala bencana yang sedang menghiasi pemberitaan di layar kaca.

Tidak mudah mewujudkan kebersamaan yang sehati dan sepikir ini mengingat setiap orang yang berada dalam persekutuan atau kebersamaan itu memiliki pandangannya sendiri. Tapi memang cuma itu kunci menjaga kehidupan kebersamaan itu.

Bisa lah, jika kita mau memiliki kerendahan hati seperti yang dimiliki Kristus ...

non mortui laudabunt Dominum

16 January 2014

Kembali menjadi warga sidi setelah menggarap Jedi ...


"May the Force be with us." (General Dodonna, 'Star Wars Episode IV: A New Hope', 1977)

[1.]

Jedi adalah organisasi fiktif yang bersifat spiritual dan monastik. Setiap anggota Jedi disiapkan untuk menjadi seorang prajurit Jedi (Jedi Knight, seperti Luke Skywalker dan Anakin Skywalker) melalui proses belajar sejak usia dini (Jedi Youngling dan Jedi Padawan). Seorang Jedi dituntut untuk melayani galaksi tempat tinggalnya dan melindunginya dari ketidakstabilan politik yang mengarah pada kehancuran. 

Jedi memahami bahwa ada kekuatan mistis yang mengatur alam semesta ini. Mereka menyebutnya 'The Force'. Kekuatan tersebut ada dalam diri mereka dan dapat dipelajari serta menolong mereka menggenapkan pelayanan mereka. Ketika menjalankan tugas pelayanan mereka dilengkapi dengan perlengkapan yang disebut lightsaber yang umumnya berwarna biru, atau bagi sebagian kecil berwarna hijau, kuning, malah ada yang ungu.

Ketika seorang Jedi tidak melakukan tugasnya, bahkan memilih sisi yang gelap, maka dia tidak lagi menjadi seorang Jedi yang baik. Dia dapat berubah menjadi seorang anggota Sith, organisasi lawannya Jedi; dari terang menjadi gelap.

[2.] 

Saya sebenarnya ingin mengisi waktu luang dengan menggambar tokoh Alkitab. Namun ketika garis-garisnya sudah muncul di kertas dan ingin menggambar genggaman tangan, saya berpikir tentang pedang; mendekati tokoh Perjanjian Lama. Tetapi yang jadi malah lightsaber. Sampai akhirnya saya membuat tulisan itu, 'Are You A Jedi?' Jadi lebih mengarah pada Obi Wan Kenobi.

Selama proses penebalan dengan pena dan marker (spidol), saya malah berpikir tentang panggilan pengutusan yang menjadi ciri khas warga sidi gereja, tempat pelaksanaan panggilan pengutusan yang kadang enak, kadang tidak enak atau sangat sulit. Ini malah memberi beberapa masukan dalam penyusunan renungan ibadah Minggu, 19 Januari 2014 yang akan datang.

[3.]

Saya bukan penganut Jediisme. Saya juga bukan penggemar Star Wars; apa lagi penggemar fanatik franchise itu. Saya hanya senang menonton 'Star Wars: A New Hope', karena Stella, sepupu saya. Namun saya akui, episode keempat itu lebih membekas dari pada lima episode yang lain. Saya hanya melihat, bahwa kadang-kadang sebuah film memiliki nilai-nilai teologis, walaupun pembuatnya tidak memaksudkan hal itu.

Saya melihat alegori Jedi itu; warga sidi, panggilan pengutusan untuk melayani dan bersaksi dalam lingkup persekutuan, menghadirkan damai sejahtera, terang dan gelap. Namun pada akhirnya; "Ah, itu cuma fantasi futuristik dari George Lucas ...."

Menurut saya, menjadi anggota sidi gereja lebih mantap dari pada menjadi anggota jedi. Kebetulan beberapa jam ke depan ada tugas mengajar calon anggota sidi jemaat; ada tugas menyampaikan materi katekisasi untuk para 'Jedi Padawan'.

[...]

(Kata sidi berasal dari kata Sansekerta siddhi, yang berarti pencapaian, kesempurnaan, penuh, genap. Tidak semua aliran gereja di Indonesia memakai istilah ini. Kata ini sendiri pun sudah tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari.)

(Ide judul artikel blog ini adalah judul episode keenam; 'Star Wars: Return of The Jedi'.)


(LRJK; Januari 2014)


non mortui laudabunt Dominum

Perempuan yang mengambil air pada jam dua belas siang



"Hari kira-kira pukul dua belas. Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air." (Yohanes 4:6-7)

[1.]

Daerah tempat perempuan ini tinggal, kota Sikhar di Samaria, adalah daerah berbukit yang nampaknya tidak mudah untuk mendapatkan air, sehingga tempat-tempat yang menjadi sumber air selalu ramai dikunjungi orang. Biasanya yang mengunjungi mata air adalah kaum perempuan, tidak sedikit juga laki-laki yang turut mengambil air. Mereka beramai-ramai mendatangi sumber air pada waktu pagi, sebelum matahari bersinar terik dan mereka melakukan aktivitas sehari-hari. Jika matahari sudah bersinar panas, sulit bagi mereka untuk mengambil air di tempat yang jauh dari kota itu.

Perempuan ini memilih keluar pada saat matahari sedang panas-panasnya, jam dua belas siang. Bisa dipastikan, tidak ada orang di sumur Yakub yang menjadi sumber air di Sikhar. Kalau pun ada orang, maka jumlahnya tidak banyak. Mengapa dia keluar pada siang hari? 

Dalam pikiran saya, ketika membaca kutipan Alkitab di atas, wanita ini ingin menghindari orang banyak. Ada dua hal yang memungkinkan, mengapa orang ingin menghindari orang banyak.

Pertama; malu. Dia merasa malu dengan keadaannya. Kehadiran dirinya di tengah-tengah orang banyak membuat dia tidak merasa nyaman. Kita bisa memahami, jika dia memilih menghindar dari orang banyak. Begitu kuatnya rasa malu itu, sehingga dia lebih memilih berpanas-panas pergi jauh-jauh ke sumur untuk mengambil air. Saya membayangkan, mungkin pengambilan air tidak dilakukan hanya dengam sekali jalan pergi pulang.

Kedua; penolakan. Dia merasa ditolak oleh lingkungannya. Penolakan pun membuat dia tidak merasa nyaman. Kita dapat memahami, jika dia memilih mengambil air pada saat sedang panas. Itu jauh lebih nyaman.

[2.]

Ketika menuangkan nas Alkitab itu dalam gambar, saya menekankan beberapa hal.

Pertama; matahari dengan bias cahayanya untuk menekankan cuaca panas itu. Bukankah Yesus sendiri merasa letih, sehingga memilih beristirahat (Yohanes 4:6)? 

Kedua; kota Sikhar yang berada di atas bukit dengan jalan ke bawah yang berkelok-kelok. Saya akan berpikir berulang-ulang, jika harus membawa air ke atas dengan jalan yang seperti itu.

Ketiga; perempuan Samaria mengenakan pakaian penutup yang menyisakan sebagian wajahnya. Pakaian perempuan di daerah itu, bahkan sampai sekarang, memang kurang lebih seperti itu. Namun dalam gambar ini, saya membayangkan rasa malu dan penolakan pada dirinya membuat dia memakai pakaian yang demikian. Saya sulit membayangkan kenyamanannya, membawa air jauh-jauh di tengah-tengah panas matahari dengan pakaian yang demikian. 

Perempuan Samaria ini adalah simbol rasa malu dan penolakan. Perjumpaannya dengan Yesus memberikan kekuatan dan keberanian baginya untuk menghadapi kenyataan. Bahkan dia dimampukan untuk menghadapi penduduk Sikhar dan memberitakan kedatangan seorang yang 'mungkin' Kristus yang dijanjikan itu (Yohanes 4:28-30).

[3.]

Gereja dalam panggilan pelayanan dan kesaksiannya patut menjangkau orang-orang yang telah dipinggirkan oleh lingkungan, bukan turut meminggirkan mereka. Masih ada warga gereja yang meminggirkan orang-orang yang dianggap berdosa, tidak benar, musuh masyarakat. Sikap ini justru hanya membangun tirai pemisah yang menghambat kehadiran kasih Allah. Warga gereja tidak boleh bersikap seperti itu. Dasarnya adalah penerimaan Allah menurut kasih-Nya pada manusia yang dinampakkan dengan penerimaan Yesus pada perempuan Samaria ini.

[...]

(Gambar ini dibuat setelah membaca perikop untuk khotbah Minggu II sesudah Adven, 19 Januari 2014)

non mortui laudabunt Dominum

  • Perempuan yang mengambil air pada jam 12.00 siang; pen (Sharpie, Uni Pin) dan marker (Sharpie) di Moleskine®

11 January 2014

Yesus ditolak di Nazaret



"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya." (Lukas 4:24)

[1.]

Pada hari Sabat Yesus mengunjungi sinagoge di Nazaret. Yesus mendapat kesempatan untuk membaca dan memberikan pengajaran sehubungan dengan nas yang dibaca-Nya. 

Namun saya menjumpai nada seperti kekecewaan dan sulit menerima dari orang-orang Nazaret yang berujung pada tindakan penolakan yang fatal; menggiring Yesus ke tebing dan hendak melemparkan Dia. 

Penolakan terhadap Yesus di Nazaret berkaitan dengan pengenalan orang Nazaret terhadap Yesus. Bagi mereka, Yesus adalah anaknya Yusuf, yang dikenal sebagai tukang kayu (Lukas 4:22, bdk. Matius 13:55 dan Markus 6:3). Jadi sekalipun kata-kata yang disampaikan Yesus indah, latar belakang Yesus lebih dipikirkan oleh mereka, sehingga mereka tetap menolak-Nya. Mereka tidak bisa menerima, kenapa anak tukang kayu mengajar mereka? Di sini kita memahami keheranan mereka.

Keheranan dan penolakan itu disikapi Yesus dengan 'keengganan'-Nya melakukan mujizat di Nazaret. Yesus memakai tindakan Elia dan Elisa yang menolong orang asing ketimbang orang-orang sebangsanya sendiri. Sikap ini justru membuat orang-orang Nazaret merasa ditempatkan sebagai posisi orang-orang yang degil.

Kesadaran yang seharusnya membawa perubahan yang lebih baik itu justru diikuti dengan kemarahan dan kecenderungan tindakan kekerasan (lih. Lukas 4:29).

[2.]

Saya menggambarkan orang yang marah itu sebagai orang yang rajin beribadah, mengetahui Firman Tuhan. Dalam tradisi orang Yahudi, ketika seorang dianggap dewasa iman, mereka akan mengenakan talit (kain syal penutup kepala yang dikenakan selama berdoa) dan tefilin (kotak berisi gulungan tulisan ayat yang dikenakan di kepala dan tangan). Gambaran tersebut saya kembangkan, karena tempat peristiwa penolakan itu, rumah ibadat (sinagoge, Lukas 4:16).

Warga gereja sering kali bersikap seperti orang-orang Nazaret itu. Tahu firman Tuhan, bahkan paham. Namun ketika bagian dari firman itu dianggap menyakiti, maka muncul sikap penolakan.

Penolakan terhadap Yesus bukan saja berarti menolak kehadiran Yesus sebagai Juruselamat. Ketika kita menutup telinga dan hati kita dari kehendak Tuhan, apa pun yang diinginkan-Nya untuk kita lakukan, maka itu pun sudah merupakan penolakan.

Kadang-kadang, sekali pun kita menganggap diri kita taat, kita bisa saja memilih untuk menolak perintah Tuhan, kan?

non mortui laudabunt Dominum

04 January 2014

Yesus adalah ...


"Pada waktu itu datanglah Yesus dari Nazaret di tanah Galilea, ..." (Markus 1:9)

[1.]

Pada hari Minggu, 5 Januari 2014, Gereja-gereja yang berakar dari tradisi Gereja Barat merayakan Minggu Epifani. Kata epifani berasal dari kata Yunani epiphaneia yang berarti penampakan yang mencolok.


Perayaan ini dikaitkan dengan penyataan atau kehadiran Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang akan menggenapkan rencana keselamatan Allah bagi manusia. Dalam tradisi gereja barat penyataan tersebut cenderung dimulai dengan kunjungan para majus, sedangkan tradisi gereja timur cenderung mengarah pada baptisan Yesus di sungai Yordan.


Selama penyataan kemuliaan Yesus di dunia ini - yang berakhir pada kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya - ada banyak gelar yang ditujukan kepada Yesus. Bahkan ada gelar yang telah disampaikan dalam nubuat para nabi.


[2.]

Saya mencoba mengumpulkan dan menuliskan beberapa gelar yang ditujukan kepada Yesus, orang Nazaret itu. Dari semua gelar itu Kristus adalah gelar yang menggandeng nama-Nya, bahkan diucapkan seperti menyebut nama lengkap; Yesus Kristus.


Selama proses menulis dan menarik garis yang menghubungkan masing-masing gelar itu, saya malah semakin takjub dengan kemuliaan yang ada pada pemuda Yesus dari Nazaret itu. Ketakjuban itu mengantar pada sebuah perenungan ulang tentang siapakah Yesus bagi saya yang berujung pada penegasan panggilan dan pengutusan dari Tuhan; "... yang memilih kamu" (Yoh. 15:16).


[3.]

Kiranya gambar ini membuat masing-masing warga gereja melihat kembali makna kehadiran Yesus bagi diri mereka, terlebih di tengah-tengah situasi yang sungguh-sungguh membutuhkan kehadiran warga gereja sebagai pelayan-pelayan-Nya yang menghadirkan damai sejahtera.



non mortui laudabunt Dominum.