As for man, his days are as grass: as a flower of the field, so he flourisheth.
For the wind passeth over it, and it is gone; and the place thereof shall know it no more.

Psalms 103:15-16; KJV

28 September 2015

Yang dipilih malah masih kemerah-merahan ...

"Ia kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Lalu TUHAN berfirman: "Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia."
(1 Samuel 16:12; TB)

Anugerah kedudukan sebagai raja, yang merupakan kepercayaan yang diberikan Tuhan, tidak disikapi dengan ketaatan yang sungguh-sungguh oleh Saul. Akibatnya, Tuhan menyikapi ketidaktaatan Saul melalui penolakan. Tuhan telah menolak Saul. Penolakan tersebut membuat Samuel berduka.

Tuhan memarahi Samuel, karena larut dalam dukacita. Dukacita membuat Samuel tidak melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa lebih baik lagi. Tuhan menyuruh Samuel bangkit, bersemangat kembali. Bahkan Tuhan menyuruh Samuel pergi ke Betlehem dan mengurapi salah seorang anak Isai sebagai raja.

Perjalanan yang cukup panjang dari Rama sampai Betlehem memberi waktu yang cukup lama bagi Samuel untuk membangun kriteria seorang raja yang baik bagi Israel. Saya kira tidak berlebihan, jika kriteria yang dibangun oleh Samuel didasarkan pada pengalamannya dengan Saul.  Sangat memungkinkan untuk dibayangkan, jika Samuel tidak menginginkan orang akan diurapinya memiliki kesamaan dengan  Saul.

Pilihan Tuhan ternyata mengagetkan, mungkin malah menghancurkan bangunan kriteria yang dibuat oleh Samuel. Tuhan malah memilih anak Isai yang bungsu, yang masih kemerah-merahan itu dan sedang disuruh (atau malah kesenangannya) menggembalakan kambing domba. Saya  membayangkan Daud yang kemudian diurapi oleh Samuel itu adalah seorang anak remaja yang pada masa kini mungkin masih mengenakan seragam putih biru.

Tuhan telah memilih anak itu. Mungkin bukan seperti yang dibayangkan Samuel. Sebagai pilihan-Nya, Tuhan mengaruniakan Roh-Nya berkuasa atas Daud. Kalau begitu, jika Tuhan memilih kita sebagai kepercayaan-Nya, sebaiknya tidak usah tawar menawar untuk bisa lepas dari kepercayaan itu.

[…]

24 September 2015

Menggambar tengkorak berarti satanis ...?

Menurut saya, tengkorak dan tulang belulang mengingatkan pada kematian. Bahkan tengkorak dan tulang belulang mengingatkan juga pada kefanaan manusia. Yehezkiel mengalami sendiri pemahaman tersebut, ketika dalam salah satu penglihatan, Tuhan membawanya ke lembah yang dipenuhi tulang belulang (Yehezkiel 37).

Yang membuat saya tertarik adalah ketika tengkorak dihubungkan dengan setan atau hal-hal yang berhubungan dengan okultisme. Akibatnya, ada pandangan yang - menurut saya - sempit, bahwa gambar tengkorak itu dikaitkan dengan pemujaan kepada iblis dan setan, penyembahan kejahatan dan peminat kekerasan. Singkatnya, tengkorak itu harus dijauhi.
Mungkin karena kematian itu dihubungkan dengan kegelapan, lalu iblis dan setan itu adalah penguasa kegelapan. Setelah itu, dengan mudahnya kematian dan tengkorak disodorkan garis yang menghubungkan mereka pada iblis dan setan.

Ini hanya sekedar lintasan pikiran yang mengembara saja. Namun pikiran yang asal lewat itu turut memengaruhi pilihan obyek gambar kali ini; tengkorak dan asap yang mengembara. Gambar ini sendiri pun dibuat untuk mengisi waktu saja. Mata susah diajak kompromi. Maunya melek terus.

Akhirnya, sekali lagi, tulisan ini cuma sekedar lintasan pikiran. Yang penting, kiranya tidak mengganggu seperti kabut asap yang mengganggu di beberapa tempat yang disebabkan pembakaran liar.

15 September 2015

Menjadi kesaksian ...

“Sebab itu aku senantiasa berusaha
untuk hidup dengan hati nurani yang murni
di hadapan Allah dan manusia.”
(Kisah Para Rasul 24:16)

[1.]

Saya tidak tahu, apakah Rasul Paulus dirantai ketika dihadapkan pada Festus dan juga pada Feliks serta Agripa.

Tuduhan melakukan penghujatan dan ancaman hukuman mati akan membuat orang merasa tidak berdaya. Tidak berbeda dengan orang yang dirantai. Pikiran terhadap tidak ada jalan keluar menjadi belenggu yang merantai sikap optimis. Pikiran ini akan membuat orang berpikir, bahwa dia sedang mengalami kegelapan dalam hidupnya.

Rantai dan latar belakang yang gelap merupakan gambaran dari situasi terjepit yang dialami oleh Rasul Paulus dan juga setiap warga gereja ketika dihadapkan pada situasi yang serupa.

[2.]

Kutipan ucapan Paulus di hadapan Festus dan Tertulus di atas berangkat dari penghayatan imannya. Penghayatan itu membuat Paulus tidak lagi memahami dirinya sebagai Korban, atau bahkan Terdakwa, melainkan sebagai Saksi.

Bagi orang beriman persoalannya justru pada kemauan untuk memandang situasi dari sudut pandang yang berbeda. Jika memang tidak ada jalan keluar dari kondisi yang ada, maka pasti ada yang salah dengan sudut pandangnya. Harus ada sudut pandang yang baru. Sudut pandang yang baru itu bernama Kesaksian.

Non mortui laudabun te Domine ...
LK